xiaomi
Diberdayakan oleh Blogger.

Hubungan Akal dan wahyu

Pandangan Singkretisme Akal dan wahyu




1.      Filsuf Islam
Dalam menetapkan relasi akal dan wahyu , para pemikir sebelum Ibn Rusyd mengambil dua model. Pertama, sebagian pemimpin menyimpulkan wahyu lebih tinggi dari filsafat. Pandangan ini pada umumnya di pegang oleh para pemikir muslim non-filsuf, seperti teolog, fuqaha, dan sufi. Kedua, sebagian pemikir menyimpulkan bahwa metode demonstrasi filsafat lebih unggul dari pada wahyu. Pandangan ini pada umumnya dipegang oleh para filsuf yang tidak menaruh pada persoalan aqidah.
Ada banyak filsuf Islam yang mencoba men-sinkretisme antara akal dan wahyu, baik filsuf timur (Arab) maupun filsuf barat (Andalusia). Senkritisme akal dan wahyu yang dilakukan oleh filsuf timur yaitu al-Kindi, walaupun masih besar perhatian filsuf Andalus dalam masalah ini, sebab filsuf timur tidak ada yang membuat karya khusus baik karangan pendek (risalah) maupun kitab, berbeda dengan filsuf Andalusia yang membuat risalah, kisah, dan ada pula yang secarah khusus menulis lebih dari satu kitab.
Sedangkan pandangan filsuf Islam barat yang men-sinkrinisme antara wahyu dan akal, antara lain:
a.      Ibnu Masarrah.
Seorang filsuf asal Cordova yang hidup pada abat ke tiga hiriyah. Muhammad bin Abdullah bin Masarrah lahir pada bulan Sya’ban tahun 319 H, seorang yang kerab terlibat dialaog dan diskusi teologis khususnya dengan sakte Mu’tazilah. Ia membawa filsafat yang bercorak Gnosis (filsafat semi tasawuf) ke Andalusia.[1] Hidup di masa awal penyebaran filsafat di Andalusia yang masyarakatnya belum siap menerima pemikiran baru yang bercampur secara radikal dengan filsafat-filsafat alam (naturalisme), meskipun pada masa itu koimitmen Andalusia terhadap kultur intelektual timur serta sering terajdi lawatan-lawatan antar kenduanya (Timur dan Andalus). Ibnu Masarrah merealisasikan persesuaian antara agama dan filsafat melalui tulisannya, yang diberi nama Risalah al-I’tibar untuk mempersiapkan intelektual dan mental masyarakat Islam di Andalusia -yang ketiaka itu sikap fanatisme dan mitisme sangat kental- agar mau meneriman filsafat.
Dalam risalah al-I’tibar, ibnu Masarrah men-senkrinismekan akal dan wahyu bahwa keduanya itu merupakan dua jalan mencari kebenaran, tapi jika wahyu mulai dari atas (Allah) kemudian bertahap turun ke tempat yang rendah, sementara filsafat berjalan berbalik arah dari wahyu. Sehingga tidak salah jika seorang filsuf itu sama seperti Nabi, sebab kedua-duanya sama-sama mencari kebenaran dan menunjukkan pada manusia tentang kebenaran/kebaikan, meskipun kebenaran Nabi itu murni langsung dari Allah dan kebenaran filsuf dari usaha mencari kebenaran dari penalaran dan pemikiran yang bisa jadi membuahkan hasil bila ia memiliki niat yang benar.
Ibnu Masarrah mengataka pada filsuf tentang problematika (akal dan wahyu) dengan ungkapan: ”Mereka menemuka bahwa I’tibar itu mendukung wahyu dan membenarkannya. Mereka juga menemuka bahwa wahyu itu sesuai dengan I’tibar serta tidak ada pertentangan antara keduanya. Sehingga bukti ini menjadi semakain kuat, keyakinan semakin jelas dan hati sampai pada hakikat-hakikat keimanan.” Hingga pada akhirnya Ibnu Musarrah menegaska mendukung I’tibar dan nalar dengan apa yang di bawa rasul adalah wajib.
Dalam catatan risalahnya, Ibnu Masarrah tidaklah men-sinkritismekan secara mendetail hanya asas-asas penting yang menjadi penghantar yang lengkap, asas-asas tersebut ialah:
1)      Metode I’tibar dan penalaran adalah wajib menurut pandangan Islam.
2)      I’tibar sangat urgen dan niscaya bagi agama.
3)      I’tibar sesuai denga wahyu dan dapat berjalan seiringan dengan agama.
b.      Ibnu Thufail.
Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik adalah filsuf Andalusia yang lahir di Granada. Pada permulaan abad VI, ada yang mengatakan tahun 504 H.  ia mempelajari berbagai ilmu yang menjadi tren ketika itu. Ia uga sangat menguasai ilmu kedokteran, filsafat dan lain-lainnya. Semasa hidupnya ia dipercayai oleh penguasa ketika itu Khalifah Abu Ya’kub Yusuf menjadi dokter pribadi, bagaimanapun juga ia sangat menggagumi filsafat representative, meskipun karya yang samai pada kita hanya berbentuk risalah (kisah) Hay bin Yaqdzan.
Kisah tersebutlah yang menjadi pandanga Ibnu Thufail tentang senkritisme akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan agama, melalui kisah Hay bin Yaqdzan yang terisolisir di pulau tak berpenghuni itu membuktikan bahwa akal dan wahyu saling berhubungan. Kisah tersebut menceritakan seorang yang hidup sendiri yang mencapai derajat wusuul (sampai pada tuhan) dengan sendirinya tanpa mempelajari ilmu atau dari agama, karean ia mendapatkan pelajaran secara alami serta memikirkan keadjian-keadjian di sekitarnya.
Inlah indikasi yang gamlah dari Ibnu Thufail bahwa orang mendapat pengetahuan langsung dari akal dan orang-orang yang memiliki pengetahuan langsung dari kasyf, dzauq, dan musyahadah itu lebih utama dibandingkan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang wahyu dan syaria’at yang mereka peroleh dari agama tanpa mengkritisinya dan memikirkannya secara rasional.

c.       Ibdu Rusdy
Ibnu Rusyd turut terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dengan filsafat, bahkan melebihi para filosof sebelumnya, karena ia telah mampu memberikan uraian yang cukup panjang dan mendalam. Dalam masalah ini, Ibnu Rusyd menulis kitab Fashl al-Maqaal dan Manahij al-Adillah, serta Tahafut al-Tahafut. Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat, karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat , terutama dari Al-Ghazali. Karenanya, Ibnu Rusyd harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumusannya.
Ibnu Rusyd menguraikan empat persoalan Pertama, keharusan berfilsafat menurut Syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil. Ketiga, Aturan-aturan dan kaidah ta’wil. Keempat, Pertalian akal dengan wahyu.


2.      Aliran Teologi

a.       Mu’tazilah
Munurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal. Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
b.      Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia. Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.
c.       Al-Maturudi
Imam al-Maturudi bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengna Mu’tazilah. ,juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keteranganm al-Bazzdawi berikut: ”Percaya pada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum ada wahyu adalah wajib bagi faham Mu’tazilah. Al-Syaikhabu Mansur al-Maturudi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazila. Demikan jugalah umumnya Ulama Smarkand dan sebagian ulim ulama Irak”.




[1] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelaar, 2000)14-15.
0 Komentar untuk "Hubungan Akal dan wahyu "

Back To Top